Kelapa sawit kembali menjadi headlines media dan menjadi bahan pembicaraan baik pada forum-forum akademis maupun non-akademik. Hal ini terutama setelah ramainya berita tentang pengenaan kenaikan tarif impor dari Prancis pada tahun 2016 serta hasil pemungutan suara parlemen Eropa tentang perubahan arahan energi terbarukan yang mengupayakan agar mulai tahun 2021 kontribusi bahan bakar nabati (BBN atau biofuel) dan cairan nabati (bioliquid) yang dihasilkan dari minyak sawit menjadi nihil dalam perhitungan konsumsi energi bruto dari sumber energi terbarukan di negara-negara anggota Uni Eropa. Menanggapi isu tersebut, sebagian pihak di Indonesia mengusulkan memasukkan tanaman sawit sebagai bagian dari tanaman kehutanan untuk mengatasi stigma buruk tanaman sawit di dunia internasional sebagai penyebab deforestasi. Benarkah itu merupakan opsi yang jitu?
Permasalahan terkait kelapa sawit sendiri tidaklah sederhana karena selama ini kelapa sawit telah menjadi primadona komoditas perkebunan yang menyumbangkan devisa kepada negara. Di samping itu banyak petani yang menggantungkan hidupnya dari berkebun kelapa sawit. Untuk membangun kebun-kebun kelapa sawit tersebut jutaan hektar lahan telah dikonversi, termasuk di dalamnya adalah lahan hutan dan lahan pertanian lainnya. Konversi lahan dalam skala besar ini ditengarai berkaitan semakin meningkatnya frekuensi kejadian bencana lingkungan seperti kekeringan, banjir, kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya emisi gas rumah kaca serta permasalahan lingkungan lain yang terkait dengan konversi lahan.
Keterkaitan kelapa sawit dengan hutan dan kehutanan ini juga menjadi perhatian Fakultas Kehutanan UGM. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Mei 2018, Fakultas Kehutanan UGM telah menyelenggarakan Focused Group Discussion (FGD) dengan tema Sawit di dalam kawasan hutan: tinjauan berbagai perkspektif. FGD ini bertempat di ruang Multi Media, Fakultas Kehutanan UGM. Dalam diskusi FGD seri pertama yang diadakan di Fakultas Kehutanan UGM (15/05/2018) tentang sawit di Kawasan hutan, solusi memasukan tanaman sawit sebagai komoditas kehutanan dinilai Prof. Maryudi tidak efektif karena data dan informasi deforestasi dan termasuk penyebabnya yang diberikan oleh pemerintah Indonesia tidak serta merta diamini oleh negara-negara maju pengimpor CPO tersebut. Yang lebih mendasar justru perlunya pemerintah Indonesia menata ulang tata guna lahannya secara lebih tepat, di mana sawit akan dialokasikan dan seberapa besar hutan tetap akan dipertahankan sehingga lebih menjamin pembangunan nasional yang lebih berkelanjutan tanpa melupakan ekosistem hutan sebagai fungsi penyangga kehidupan.
Sebagai pemantik diskusi, Dr. Susanti yang banyak mendalami isu sawit dan deforestasi di Provinsi Riau, menyatakan kompleksitas permasalahan bisnis kelapa sawit yang melibatkan multi-sektor, juga multi-aktor dan multi-kepentingan pada berbagai level seringkali menyebabkan kesulitan di dalam menentukan unit analisis dalam melihat permasalahan terkait sawit tersebut. Dia menyarankan agar menentukan titik awal pijakan agar posisi akademisi jelas terhadap isu yang dimaksud, terutama membatasi pada tanaman kelapa sawit di kawasan hutan. Dr. Wahyu Wardhana menyampaikan hasil analisis citra satelit dan SIG tahun 2015 yang mengidentifikasikan adanya tanaman sawit di kawasan hutan mencapai 2.8 juta ha yang tersebar baik di kawasan konservasi, hutan produksi, maupun di hutan lindung. Hal ini memerlukan variasi penanganan yang tepat.
Selama ini kehutanan lebih banyak menjadi pelayan atau penyedia lahan bagi sektor-sektor lain yang memerlukan seperti pertanian, perkebunan, perumahan, transmigrasi, pertambangan, dan infrastruktur. Hal ini terkait dengan posisi tawar kehutanan yang dipandang kurang menghasilkan uang sehingga lahan hutan kurang produktif secara finansial. Namun demikian, banyak intangible benefit yang diperoleh dari hutan yang belum banyak dikuantifikasi. Di samping itu, tidak terjadi diversifikasi dan hilirisasi pada pengolahan produk hasil hutan sehingga nilainya masih sangat rendah.
Kemudian muncul wacana apakah perlu dilakukan penentuan luas hutan tetap yang akan dipertahankan atau yang akan mampu kita pertahankan? Disinyalir karena banyaknya kerusakan hutan termasuk juga keberadaan tanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan merupakan akibat dari kekurangmampuan rimbawan dalam mengelola hutannya. Tetapi secara teknis berapa luas hutan dan bagaimana distribusinya yang harus dipertahankan seharusnya dapat dihitung. Beberapa pendekatan dapat diaplikasikan dalam hal ini misalnya pendekatan hidrologi atau pendekatan biodiversity.
Meskipun secara teknis tanaman sawit merupakan tumbuhan berkayu karena mengandung lignocellulosa, tanaman kelapa sawit masih digugat kemampuanya dalam berasosiasi dengan komponen ekosistem hutan lainnya untuk mendukung fungsi perlindungan, biodiversitas, produksi dan konservasi. Hal ini juga berimplikasi pada perlunya meninjau ulang system hutan tanaman industri yang monokultur, seperti kayu putih, akasia, ekaliptus, dan lain-lain.
Keberadaan tanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan telah menyebabkan fragmentasi hutan alam. Fragmentasi hutan ini lebih lanjut menyebabkan semakin sempitnya habitat flora dan fauna dan berkurangnya biodiversity. Fragmentasi juga mempengaruhi hidrologi hutan yang mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan. Tantangannya adalah bagaimana kita seharusnya mengkuantifikasi dampak-dampak tersebut dan hasilnya digunakan untuk melakukan terobosan teknologi ataupun regulasi untuk mengatur lokasi dan alokasi hutan sebagai bagian integral dari hutan sehingga dapat mengoptimalkan fungsi ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupan.
Ekspansi kelapa sawit sebenarnya tidak perlu ditakuti selama pengambil kebijakan di kehutanan mempunyai aturan yang jelas dan melaksanakannya dengan benar sehingga mampu mengendalikan ekspansi kelapa sawit. Hal ini karena semua prijinan kelapa sawit pada lahan hutan memerlukan persetujuan dari kementrian LHK.Terkait dengan hal tersebut masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan terutama terkait dengan data spasial, tata batas hutan dan persyaratan dan kewenangn pemberi ijin yang menyebabkan rumitnya perijinan.
Beberapa alternative solusi terkait permasalahan sawit di dalam kawasan hutan yang dapat diidentifikasi pada FGD ini antara lain: inovasi teknologi agroforestry, kelembagaan yang efektif, dan kebijakan yang berbasis fakta (evidence-based policy). Sebagai contoh perlu dirumuskan teknik agroforestry untuk meningkatkan biodiversity pada tanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan dan teknologi pengolahan untuk diversifikasi dan hilirisasi produk-produk kehutanan sehingga mampu bersaing dengan produk perkebunan termasuk dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional. Di samping itu diperlukan juga terobosan kebijakan antara lain kewajiban perkebunan kelapa sawit untuk membantu pengelolaan kawasan konservasi di sekitarnya dan skema-skema Public Private Partnership lainnya. Tidak kalah penting adalah perubahan cara pandang terhadap kawasan hutan yang seharusnya tidak lagi dipisahkan fungsinya berdasarkan posisi spasialnya. Hal ini memerlukan perubahan UU 41/1999 tentang kehutanan yang sudah tidak tepat menjawab permasalahan pengelolaan sumber daya hutan dan ekosistemnya.
FGD ini dihadiri oleh beberapa akademisi yang diundang untuk memberikan paparannya dan masukkanya, yaitu Prof. Dr. Ahmad Maryudi, Prof. Dr. M Naiem, Prof. Dr. Sambas SN, Dr. Sapto Indrioko, Dr. Ali Imran, Dr. Budiadi, Dr. Ris Hadi, Dr. Rohman, Dr. Taufik Hermawan, Dr. Ari Susanti, Dr. Wahyu Wardhana, Oka Karyanto, M.Sc, Dr. Hero Marhaento, Hermudananto, M.Sc dan difasilitasi oleh Dwiko Permadi, M.Sc. FGD ini akan dilanjutkan pada seri berikutnya yang akan diperluas selain internal UGM juga akan melibatkan pihak-pihak eksternal baik para pengambil kebijakan di KLHK, swasta, alumni dan lembaga swadaya masyarakat yang terkait berkepentingan untuk mempertajam upaya penyelesaian sawit di kawasan hutan. (AS-DP/21/05/2018)